A. PENDAHULUAN
Konseling merupakan proses pemberian layanan profesional yang berhubungan dengan manusia. Menghadapi manusia berarti menghadapi makhluk yang berdimensi kompleks, meliputi dimensi rasional, emosional, kehendak, keyakinan, nilai-nilai agama dan budaya, kesemua ini terpaut erat menjadi kesatuan jalinan, yang menghasilkan keputusan-keputusan dan praktek perilaku bervariasi. Dalam kajian konseptual, dimensi-dimensi ini dikaji dalam bagian-bagiannya dengan tanpa mengabaikan keterjalinan satu sama lain.
Konseling yang efektif dan juga efisien meletakkan pendekatan ilmunya ke dalam berbagai dimensi manusia, di samping memperhatikan kararkteristik uniq dari masing-masing individu, meliputi keseluruhan personaliti, dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Konseling dalam perkembangan dan upayanya memberi kontribusi terbaik, menaruh perhatian besar terhadap ragam budaya. Perhatian terhadap keaneka ragaman budaya dikenal dengan sebutan “konseling lintas budaya” (cross cultural counseling). Dedi Supriadi (2001) menulis bahwa konseling lintas budaya adalah konseling yang melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif (Draguns, 1986, Pedersen, 1986). Pendekatan lain di samping pandangan lintas budaya yang baru berkembang di kalangan ilmu-ilmu sosial dan psikologi khususnya adalah pendekatan “indigenous”, “indigenous psychology”.
Sebagai bagian dari ilmu sosial dan keerat-terkaitan konseling dengan ilmu
* Disajikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling, Tanggal 8-10 Desember 2003 di Universitas Pendidikan Indonesia..
** Staf Pengajar FIP UNIMED, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Padjadjaran, dan Anggota Pengurus Daerah ABKIN.
lain seperti psikologi, budaya, dan sosiologi, konseling penting menaruh perhatian terhadap pendekatan indigenous. Makalah ini menyampaikan tentang sejauhmana pentingnya keterlibatan indigenous dalam konseling. Dalam kalimat singkat penulis menyebut sebagai : “Konseling Indigenous” (“Indigenous Counselling”). Konseling indigenous akan menghasilkan konseling yang lebih tepat (relevan) sesuai dengan konteks budaya individu (client).
B. KONSEP INDIGENOUS, INDIGENIZATION, DAN INDIGENOUS COUNSELLING
Sinha dalam Berry, J. W.; Poortinga, YPE; dan Pandey, J. (1997) mengemukakan pengertian indigenous dan indigenization, sebagai berikut. Dalam arti biologis untuk bidang untuk bidang epistemologi, indigenous mengacu kepada elemen-elemen pengetahuan yang diturunkan dalam suatu negara atau kebudayaan, dan yang sudah berkembang disana, yang dipertentangkan dengan sesuatu yang diimport atau dibawa dari mana saja. Kamus Oxford Inggeris mengemukakan indigenous (mengacu kepada flora dan fauna) berarti “yang dihasilkan secara alami dalam suatu wilayah; secara alami mengikuti ke bumi/asli (Sykes, 1976). Dari kedua defenenisi ini dapat dipahami bahwa indigenous adalah sistem pengetahuan dan praktek yang ada dan berkembang serta bertahan dalam suatu masyarakat atau wilayah/tempat tertentu. Dengan kata lain berakar di suatu tempat tertentu, bukan sesuatu yang diambil dari wilayah/tempat lainnya.
Heeler (1981 : 3), Segall & Dasen (1992, p. 381) sebagaimana dikemukakan oleh Sinha dalam Berry, J. W.; Poortinga, YPE; dan Pandey, J. (1997) mengemukakan pendapat mereka tentang pengertian indigenous yang dikaitkan dengan psikologi. Heeler (1981 : 3) mengatakan bahwa berbeda dari penelitian-penelitian eksperimen, indigenous psychology mengakar dalam aturan-aturan, klasifikasi-klasifikasi, perkiraan-perkiraan, teori-teori, kiasan-kiasan – penanaman dalam institusi-institusi sosial – yang melahirkan topik-topik psikologis. Dengan kata lain,.mencoba mengembangkan suatu ilmu perilaku yang sesuai dengan realitas-realitas sosial budaya suatu masyarakatnya sendiri (Segall & Dasen, 1992, p. 381). Disini indigenous dibedakan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari kehidupan masyarakat baik dalam proses interaktifnya maupun dalam intitusi-intitusinya, bukan dari hasil-hasil percobaan atau rekayasa laboratorium eksperimen. .
Pengertian yang lebih luas dapat diperoleh dari pengertian indigenization. Indigenization mengandung arti proses indigenous. Indigenization mengacu kepada transformasi-transformasi yang dicangkok atau dipinjam di bawah elemen-elemen luar agar mereka memproses ciri-ciri daerah atau kebudayaan (D. Sinha, 1993, p. 34 Sinha dalam Berry, J. W.; Poortinga, YPE; dan Pandey, J. (1997). Indigenization adalah proses mengambil perkembangan dari tempat lain dan mengantarkan modifikasi-modifikasi yang membuat hal ini sesuai dengan kebudayaan baru (p. 62). Mengacu kepada pengertian indigenous dan indigenization, dapat diketahui bahwa sebagai suatu proses, indigenisation berlangsung dengan dua cara. Pertama, bangkit dan berkembang dalam suatu kebudayaan tertentu dan menggunakan konstruk, kreasi-kreasi kolektif, dan kategori-kategorinya, disebut sebagai “internal indigenization”. Kedua, mengacu kepada suatu proses perubahan elemen-elemen yang diimpor dari dan membuat elemen-elemen tersebut tepat dalam lingkungan sosial budaya, disebut sebagai “indigenization of exogenous”.
Dalam publikasi istilah indigenous dan indigenization kerapkali digunakan bertukaran. Sesungguhnya kedua istilah tersebut berbeda, yakni indigenous merujuk pada yang diturunkan dan berkembang dalam budaya tertentu dan menggunakan kreasi-kreasi kolektifnya, konstruk-konstruk, dan kategori-kategori. Sedangkan indigenization merujuk kepada suatu proses transformasi unsur-unsur modern yang diimpor untuk membuatnya sesuai dengan setting sosial budaya.
Indigenization merupakan suatu proses yang berlangsung dari pada suatu hasil akhir; indigenization berlangsung gradual.
C. TIPE DAN LEVEL INDIZENIZATION
Indigenization dapat terjadi secara : 1. Struktural, substantif (content), teoritis (Kumar, 1979, p. 104 – 105), dan dalam metode-metode. Dari segi levelnya, indigenization dapat berlangsung pada level : 1. Menseleksi aitem-aitem dan stimulus dalam suatu test, 2. Memilih instrumen dan prosedur, 3. Pendefenisian konsep-konsep teoritis, dan 4. Memilih topik-topik penelitian, metode (Sinha dalam Berry, J. W.; Poortinga, YPE; dan Pandey, J. (1997).
D. ASAL MULA INDIGENOUS KONSELING
Pada masa-masa dahulu dan sekarang, masih ditemui kecenderungan mempelajari individu di berbagai tempat dengan kerangka acuan teori tertentu saja, yakni teori-teori Barat, dan kurang . memperhatikan lingkungan sosial budaya individunya. Keadaan ini berlangsung oleh karena literatur-literatur yang tersedia umumnya dari Amerika dan masih terbatasnya kemampuan negara-negara bekembang untuk menulis dan memproduksi cetak serta mempublikasikan literatur-literatur serta temuan-temuan penelitian dari masyarakatnya sendiri. Sehingga masyarakat negara-negara berkembang umumnya menggunakan literatur dan hasil -hasil penelitian yang tersedia, yakni yang berasal dari Barat (Amerika). Sampai saat ini mainstream psikologi dan konseling di Indonesia maupun di negara-negara berkembang lainnya adalah Amerika Serikat. Di samping itu kuat kecenderungan para ahli Amerika hanya menggunakan literatur-literatur Barat atau Amerika, walaupun ada publikasi literatur di luar Barat yang diproduksi dalam bahasa Inggeris. Hal ini menyebabkan teori-teori Barat umumnya hanya berlandaskan kepada nilai-nilai dan praktek kehidupan masyarakat Barat dan berakibat pada tidak atau kurang sesuai untuk diterapkan di tempat/wilayah/daerah/negara lain di luar Barat.
Belakangan ini muncul pendapat-pendapat yang menolak teori-teori Barat, terutama dari negara-negara Asia, negara-negara bekas jajahan dan negara-negara sedang berkembang seperti China, Korea, Philipina, India, Afrika, Amerika Latin (seperti Cuba, Mexico), Jepang, Pakistan dan dunia Muslim, Turki dan Indonesia. Negara-negara ini menganggap bahwa psikologi Amerika adalah monocultural, merupakan budaya anglo-saxon, dan indigenous Amerika. Keadaan-keadaan ini pada akhirnya memunculkan reaksi berupa gerakan “cross-cultural counselling”, “cross-cultural psychology”, dan “indigenous psychology”.
E. KONSEP DAN PROSPEK KONSELING INDIGENOUS
Konseling indigenous mengandung arti konseling yang berakar kepada sistem pengetahuan dan praktek masyarakat, tempat dimana individu menginternalisasi sistem pengetahuan dan praktek perilakunya. Pengakaran kepada “setempat” ini tidak berarti mengabaikan konsep-konsep konseling, konsep-konsep psikologi yang dianggap universal, yang biasanya dihasilkan oleh negara-negara Amerika Serikat. Misalnya kita tidak dapat mengabaikan teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg sebagai teori universal, meskipun belakangan ini banyak kritik atas keuniversalannya. Contoh lain, penerapan teknik-teknik konseling; individu yang menunjukkan kecerdasan, dominan, kreatif, dan mandiri, diberikan teknik konseling cenderung non direktif, sebaliknya individu yang pasif, kurang cerdas, tidak berdaya, diberikan teknik cenderung direktif. Teknik konseling beserta ciri-ciri penerapannya dianggap sebagai konsep universal yang dapat diterapkan dalam berbagai budaya yang berbeda. Dengan demikian, konseling indigenous menggunakan sistem pengetahuan dan praktek masyarakat setempat dan tidak mengabaikan kemungkinan mengadopsi prinsip-prinsip, konsep-konsep dari tempat lain (selalu diasosiasikan indigenous Barat = Amerika). Indigenous itu sendiri pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh universalisme melalui pengumpulan dan silang berbagai indigenous.
Beberapa pokok pikiran yang perlu diperhatikan berkaitan dengan konseling indigenious adalah : 1. Pengetahuan dan praktek konseling tidak dipaksakan dari luar, melainkan hal-hal yang diperoleh atau datang dari luar dan yang ada dari dalam digunakan untuk peningkatan konseling; 2. Individu dipahami bukan dari sistem pengetahuan, nilai, dan perilaku luar yang diimpor, melainkan pada kerangka acuan lokal dimana individu menginternalisasi; 3. Konseling indigenous meng-kerangkai pengetahuan konseling dan menjadi dasar dalam merancang konseling yang tepat dengan individu, sehingga ia merupakan suatu route (jalan) menuju yang konseling yang lebih tepat; 4. Indigenization bukan suatu sangkalan ethnosentrik Barat atau suatu pertentangan antara tradisional dan modern. Indigenization bukan suatu pendekatan untuk menemukan masa lalu dan berpegang pada masa lalu itu sepenuhnya ataupun gagasan-gagasan Barat yang ditolak dengan mudah karena gagasan-gagasan itu asing dan karenanya buruk.
Prospek yang diperoleh dari konseling indigenious adalah, pertama, memungkinkan terjadinya “assimilative synthesis”, yaitu titik temu antara nilai-nilai tradisional setempat dengan yang diimport untuk menghasilkan integrasi organik. Sistem pengetahuan dan praktek yang bermakna dipelihara dan pengetahuan yang lama dimunculkan kembali dalam bentuk-bentuk baru disesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Gopal (1989, p. 61) mengemukakan bahwa proses integrasi dapat dipandang sebagai suatu “pergolakan bagi munculnya kesadaran”, suatu tantangan terhadap dominasi intelektual Barat dan suatu pencarian untuk memperbaiki identitas orang yang sudah hilang (Sinha, dalam Berry, J. W.; Poortinga, YPE; dan Pandey, J. (1997). Kedua, konseling indigenous merupakan langkah diperolehnya prinsip-prinsip, konsep-konsep konseling universal. Ketiga, mengurangi keekstriman pandangan bahwa relativisme kebudayaan mengingkari prinsip-prinsip yang universal. Sehubungan dengan butir kedua dan ketiga ini di dalam psikologi, Sinha (1997 :134) mengatakan : “one of the main goals of the indigenous psychology approach is the discovery of universal facts and principles. There is awidespread misunderstanding that it is committed to cultural relatism and denies the existence of universal psychological principles”.
Indigenization mempunyai dua perhatian, yaitu kebutuhan peng-akaran di dalam setting budaya tertentu dan mendapatkan keuniversalan. Kedua aspek ini tidak selalu diharapkan. Pendukung-pendukung indigenous yang berlebihan dalam mendukung relativisme budaya dan pada sisi lain merasa curiga terhadap dominasi Barat, merupakan kesulitan pengembangan indigenous. Seyogianya, kerangka pikir yang tepat muncul dari pandangan bahwa konseling indigenious merupakan perspektif lain dalam mempelajari perilaku manusia.
Tujuan konseling indigenous untuk lebih memahami manusia hanya dapat dicapai dengan menganalisis perilaku-perilaku manusia di dalam konteks budayanya dan memperoleh prinsip-prinsip konseling universal melalui kerja sama dengan seluruh indigenousi-ndigenous lain, termasuk indigenous Barat. Oleh karenanya indigenous harus dipandang sebagai cikal-cikal yang akan membentuk konseling yang lebih meliput. Menerima dan menolak prinsip-prinsip dan teori-teori mainstream konseling (Amerika) tidak merusak orientasi konseling indigenous, sepanjang diperlukan untuk penyesuaian konteks budaya. “Indigenization is a necessary step towards the establishment of true universals in psychology which are proved, rather than merely assumed” (Sinha, 1997 : 161).
Berry, J. W. , dan kawan-kawan (2002) memandang bahwa melalui indigenous psychology ditemukan keseimbangan antara psikologi sendiri dengan psikologi Barat. Pada satu pihak hal ini tidak mengabaikan capaian psikologi Barat dan perputaran budaya lokal. Di pihak lain ethnosentrisme psikologi Barat membuat ethnosentrisme ini perlu mengangkat pandangan-pandangan lain dalam memahami perilaku manusia. Ia mengemukakan pula bahwa kita tidak akan pernah tahu, apakah semua data yang beragam dan pandangan budaya yang telah dipadukan ke dalam psikologi universal yang tuntas, jika kita tidak menanam jaringan seluas mungkin agar dapat memperoleh seluruh informasi yang relevan.
Seorang dari pendukung yang paling kuat indigenous (psychology), Enriquez (1993) lebih jauh mengatakan bahwa indigenous (psychology) tidak hanya menunjuk ke “psikologi global” sebagai tujuannya, tetapi suatu model untuk pencapaian melalui “pendekatan indigenous silang”. “Perbedaan budaya dari dunia ditarik sebagai sumber pengetahuan budaya. Sasaran yang membuahkan hasil kemudian disebut pengetahuan silang budaya (dalam Berry, J. W.; Poortinga, YPE; dan Pandey, J. (1997).
Kontroversi adalah penting bagi kemajuan ilmu dan mencegah ilmu itu menjadi kaku dan tergelincir ke dalam dogma-dogma dan bahwa tantangan-tantangan dan kontroversi akan membawa kebenaran ilmiah. Misalnya, keadilan selalu muncul dari adanya kontroversi. Paradigma-paradigma baru dan perspektif-perspektif alternatif adalah esensial bagi pertumbuhan ilmu yang sehat, dalam hal ini, indigenous merupakan langkah penting dalam perkembangan konseling. Pandangan Kuhn (1970) tentang revolusi ilmu mengedepankan pentingnya perkembangan paradigma-paradigma yang akan menyempurnakan dan menggantikan paradigma-paradigma lama yang tidak lagi terbukti.
Upaya penempatan individu dalam konteks budayanya merupakan salah satu upaya penghindaran “dehumanisasi” dan “depersonalisasi”. Manusia harus dipandang sebagai makhluk yang subyektif, yang berbeda dari benda, dan tidak bisa diperlakukan sama dengan individu lain. Setiap individu membutuhkan diperlakukan sesuai dengan keuniqan-keuniqannya sendiri, didekati sesuai dengan kepribadiannya, serta di dalamnya ada nilai-nilai budaya yang harus dihargai.
Pendekatan indigenous dalam konseling pada dasarnya merupakan penghargaan akan humanism dan personalism. Sikap humanism dan personalism bukan hanya sampai kepada pembedaan individu dari benda atau makhluk yang lebih rendah (hewan), melainkan harus melihatnya lebih dari sekedar SDM (Sumber Daya Manusia). Fuad Hasan menempatkan evaluasi atas manusia sebagai SDM yang diberi “nilai tambah”. Pentingnya pandangan terhadap manusia sebagai SDM yang mempunyai “nilai tambah”, dikemukakan oleh Fuad Hasan dengan tandas. Ia mengakatan : “Sekali lagi, bukannya keliru untuk berbicara tentang manusia sebagai sumberdaya, melainkan perlu tetap disadari bahwa pengertian itu tidak meliputi manusia seutuhnya, yaitu sebagai kepribadian yang berlanjut mekar atas perkembangannya sendiri. Pengingkaran terhadap kenyataan ini niscaya akan menjerat kita dalam pandangan yang reduktif tentang manusia. Menilai manusia sekedar sebagai sumberdaya dan mengabaikan kenyataan sebagai eksistensi subyektif adalah permulaan dari suatu distorsi tentang citra manusia dengan identitas dan integritas kepribadiannya. Pandangan yang reduktif itu sudah merupakan ancang-ancang menuju dehumanisasi, tentunya dengan segala konsekuensi etik yang berkenaan dengan perilaku dan perlakuan kita terhadap sesama manusia” (Fuad Hasan, 1998 : 111). .
Pada akhir sub paparan ini dapat disimpulkan bahwa pelibatan indigenous di dalam konseling akan menempatkan kajian yang relevan dalam konteks budaya individu dan menghindari evaluasi manusia yang dehumanisasi dan depersonalisasi.
F. CONTOH INDIGENOUS DI JEPANG, PAKISTAN DAN NEGARA ISLAM LAINNYA, SERTA CHINA DAN NEGARA-NEGARA BERBAHASA CHINA
Sinha dalam Berry, J. W.; Poortinga, YPE; dan Pandey, J. (1997) mengemukakan contoh-contoh indigenous di negara-negara ini..
1. Jepang
· Di Jepang, Indigenization dalam hal : a. Teknik-tekni psikoterapi; b. Manajemen; c. Nilai-nilai sosialisasi dan pengasuhan anak; d. Dalam psikologi sosial.
· Zen Budhism menjadi jalan riset psikologi lokal. Minat khusus pendekatan indigenous pada terapi, terkenal terapi Morita dan terapi Naikin.
· Terapi Morita berakar dari budaya Jepang tentang Amae . Terapi Morita dipengaruhi oleh perlakuan penganut Budha terhadap bermacam-macam gangguan neurosa. Ciri utamanya melakukan bed rest dan bimbingan terapi kerja (Reynolds, 1981). Proses terapi menggambarkan amae (kebutuhan akan ketergantungan), yang dinilai tinggi di dalam kehidupan Jepang dan hubungan-hubungan interpersonal. Implikasinya : “keinginan dicintai” atau “kebutuhan tergantung”, dan tuntutan pada “persetujuan tanpa protes” terhadap keadaan yang terjadi. Hal ini merupakan sentral kehidupan orang Jepang yang merefleksikan suatu dasar psikologis yang berbeda dengan dunia Barat. Tujuan terapi Morita sebagaimana dikemukakan oleh Pedersen (1981) adalah pasien menerima suatu realitas-realitas hidup dari pada membawa realitas-realitas hidup ke dalam suatu keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan.
· Terapi Naikin menggambarkan suatu introspeksi untuk menemukan dan merealisasikan personal dan kesalahan otentik, untuk tidak mengganggu orang lain, dan dimaksudkan untuk mencapai sikap positif. Tujuan terapinya adalah agar klien menemukan kesalahan dan bersyukur kepada perubahan self image dan sikap interpersonal. Akar Naikan merupakan kunci untuk memahami struktur kepribadian orang Jepang, disebut sunao. Sunao mempunyai bermacam-macam arti, implikasinya : kepatuhan, penerimaan (dari pada bersifat tegas),open minded, bebas dari bersifat antogonis dan persaingan, memelihara keharmonisan dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan orang yang rileks, fleksibel, lemah lembut, terbebas dari frustasi dan konflik.
· Dalam wilayah psikologi sosial, dibicarakan tentang ethos sensitivitas sosial. Akibatnya mereka secara ekstrim memperhatikan relasi-relasi dan interaksi-interaksi sosial.
2. Pakistan dan Dunia Islam
· Di Pakistan, indigenization digali dari perhatian para ahli psikologi terhadap perumusan dan pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional dan transformasi ekonomi. Pembangunan umum dalam dunia Muslim mendorong indigenization. Minat di dalam praktek-praktek indigenous kesehatan dan elemen-elemen psikologis sufism sudah dikembangkan.
· Di negara-negara Islam lain psikologi sebagai suatu sistem berkembang baik. Secara intrinsik Psikologi diterima, dapat digunakan di dalam konteks nilai-nilai Islam. Para ahli psikologi Arab memperlihatkan minat khusus dalam menganalisis model Islam tentang perubahan dan penyelidikan hubungan antara etika kerja Islam dan perkembangan organsisasi. Jika nilai budaya Islam diidentifikasi dan dipahami secara benar, memfasilitasi perubahan dan perkembangan organisasi.
3. China dan Negara-Negara Berbahasa China
· Di China dan wilayah-wilayah berbahasa China khususnya Hongkong dan Taiwan, pendekatan indigenious direfleksikan dalam 5 cara :
Pertama :
q Minat khusus pada yang sudah ditanamkan di dalam pikiran psikologis filosof-filosof purbakala dan pemikir-pemikir sosial. Misalnya tulisan-tulisan confusius, Mencius, Gao Zi.
q Pada awalnya psikologi modern merupakan hasil import, dan berhubungan dengan psikologi A.S. dan Eropa, kemudian ke orang China yang menganut prinsip Marxist dan Psikologi Soviet. Belakangan ini di China sudah dipengaruhi oleh peningkatan tradisi mereka sendiri dari peradaban purbakala dan kebudayaan, pikiran modern Barat, dan struktur politik zaman sekarang.
Kedua :
q Psikologi import tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat China, tetapi diterapkan dalam bentuk Barat baru dalam pendidikan dan progran-program industri.
Ketiga :
q Pendekatan indigenous dibuktikan di dalam psikologi perkembangan, sebagai satu dari area utama studi di China, misalnya perkembangan berpikir Piaget, perkembangan moral Kohlberg. Model Kohlberg direvisi sesuai masyarakatnya. Model China menitik beratkan model Ch’ing (sentimen dan afeksi manusia) dari pada Li (pikiran atau akal), dan nilai-nilai Confucian dari jen (cinta, keintian manusia, kebajikan, dan simpati), anak yang saleh, solidaritas kelompok, kolektivitas dan kemanusiaan. Nilai-nilai ini merupakan rekonseptualisasi perkembangan moral khususnya yang paling tinggi, moralitas post konvensional.
q China mempunyai sejumlah besar indigenious kesehatan yang dikemukakan oleh para ahli psikologi dan profesi-profesi lain,seperti akupuntur dan kaligrafi digunakan untuk terapeutik.
q Dapat disimpulkan bahwa para ahli psikologi China dipusatkan membangun perkembangan indigenous, dan bahwa ketergantungan psikologi China atas psikologi Barat tidak terjadi karena kekuatan acuan mereka pada sumber-sumber Chinanya.
Kelima :
q Manifestasi indigenisasi di China adalah area psiklogi sosial. Berkaitan dengan orientasi relasi, dunia orang China mempunyai ciri-ciri : “situation centered”, dengan tanda-tanda secara permanent menghubungkan manusia dalam keluarga dan clan. Dalam konstelasi manusia yang mendasar ini individu dikondisikan untuk mencari saling ketergantungan. Di Barat berpusat pada diri individu, dan kepercayaan diri merupakan orientasi dasar menghadapi kehidupan dan lingkungan. Di China, arti manusia ditemukan dalam hubungan-hubungan interpersonal dimana individu dipandang dalam hal keseluruhan yang lebih luas. Dalam konsep orang China Tengah tentang ren atau jen (person), penempatan individu dalam jaringan hubungan interpersonal. Mereka mementingkan keseimbangan psikososial. Konsep-konsep orang China tradisional yang telah digunakan secara umum dalam memahami perilaku sosial adalah quanxi (kesalingtergantungan), “kesalehan anak”, yin (penyebab yang prinsip) dan yuan (penyebab tambahan), dan kebenaran atau keadilan. Yin dan yuan dianggap menjadi basis hubungan interpersonal. Orientasi kelompok dan orientasi yang lain direfleksikan dalam suatu predisposisi menuju kepada pola-pola perilaku seperti konformitas sosial, strategi tidak menyerang, patuh pada harapan-harapan sosial, dan takut pada opini luar dalam mencoba satu atau lebih tujuan untuk mencapai ganjaran, memelihara keharmonisan, mengelola impresi, penerimaan sosial, dan menjauhi hukuman, rasa malu, konflik, penolakan di dalam situasi sosial.
G. BAGAIMANA KONSELING INDIGENIOUS DILAKUKAN DI INDONESIA ?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu kajian luas dan membutuhkan lembaran kertas yang banyak. Dalam lembaran terbatas ini, penulis mengemukakan pendapat singkat bahwa konseling indigenous di Indonesia harus menggali nilai-nilai budaya (dalam berbagai wujud, antara lain pikiran, pengetahuan, seni, kebendaan, perilaku, dan nilai-nilai itu sendiri) dari nenek moyang yang sudah hampir hilang dan yang masih bertahan dalam kehidupan keseharian masyarakat serta mengadopsi nilai-nilai di luar nilai-nilai budaya Indonesia. Nilai-nilai ini diseleksi, yang bermakna dipertahankan dan yang kurang mendukung dan merusak dihilangkan. Nilai-nilai seperi gotong royong, kebersamaan, toleransi, tenggang rasa, hormat orang tua, merupakan nilai-nilai yang perlu dipertahankan, dan nilai-nilai yang menunjukkan mentalitas lemah yang banyak ditemukan pada masa pasca revolusi harus dihilangkan. Koentjaraningrat (1987) mengemukan beberapa mentalitas pembangunan yang lemah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yaitu mentalitas meremehkan waktu, tidak percaya pada diri sendiri, tidak berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. Nilai budaya Barat seperti disiplin tinggi, bekerja dengan perencanaan, merupakan nilai-nilai yang perlu diadopsi. Teori mereka tentang tentang persepsi perlu diaplikasikan, namun teori-teori tentang pola asuh orang tua terhadap anak masih perlu dipertimbangkan. Contoh lain, teori Piaget tentang kemampuan berpikir dan teori perkembangan moral Kohlberg, yang populer dipandang sebagai teori universal di Amerika, tetapi ramai diperdebatkan (Jahoda dan Krewer, 1987; Sinha, 1987), perlu dikaji lebih dalam.
DAFTAR PUSTAKA
Berry, J. W., et. Al. 2002. Cross-Cultural Psychology : Research and Applications. Second Edition.Cambrige university Press, New York.
Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas-Budaya : Isu-Isu dan Relevansinya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Fuad Hasan. 1998. Studium Generale. Dirjen Dikti Depdikbud, Jakarta.
Jahoda, G., B. Krewer. 1987. History of Cross-Cultural and Cultural Psychology in Berry, J. W., Poortinga, YPE H., and Pandey, J. 1997 (ed.). Handbook of Cross-Cultural Psychology : Theory and Method. Second edition. 1997. Allyn and Bacon A Viacom Company, United States of America
Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia, Jakarta.
Kuhn T. S. 1970. The Srtucture of Scientific Revolutions. Second Edition. The University of Chicago Press, Chicago.
Sinha, D. 1997. Indigenizing Psychology in Berry, J. W., Poortinga, YPE H., and Pandey, J. 1997 (ed.). Handbook of Cross-Cultural Psychology : Theory and Method. Second edition. 1997. Allyn and Bacon A Viacom Company, United States of America
0 Comments: